Al Hikam: Hikmah 2

December 10, 2019 Add Comment
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ

Keinginanmu untuk tajrīd (melulu beribadah tanpa berusaha mencari dunia), padahal Allah masih menempatkan engkau pada asbāb (harus berusaha untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari), termasuk syahwat nafsu yang samar. Sebaliknya keinginanmu untuk asbāb (berusaha), padahal Allah telah menempatkan dirimu pada tajrīd (melulu beribadah tanpa berusaha), maka demikian itu berarti menurun dari semangat yang tinggi.


Dalam hikmah ini, hendaknya kita sebagai hamba tidak menuntut terlalu jauh mengenai kondisi yang sedang kita terima. Beribadah pun jika tanpa keridaan Allah tidak akan ada artinya. Allah telah memberikan kondisi terbaik bagi hambanya. Allah paling mengerti tentang hambanya, dan setiap hambanya tentu tidak mengerti sepenuhnya maksud dari Allah, dan buruknya ialah menyalahi aturan yang Allah telah tetapkan. Berikanlah dan serahkanlah sepenuhnya kepada Allah. Tugas hambanya ialah bersyukur terhadap kondisi yang telah ditetapkan.  Asbab kita merupakan takdir Allah, dan Tajrid kita pun karena Allah. 

Sabar Tidak Ada Batasnya

September 25, 2018 Add Comment

Sikap sabar memiliki nilai yang tinggi dihadapan Allah. Sabar menurut Imam Qusyairi terbagi 2, yang pertama sabar terhadap perintah dan larangan Allah dan yang kedua adalah sabar terhadap masalah masalah duniawi seperti kemiskinan, kekayaan, kesulitan dan lain lain.

Seorang manusia terus diharapkan sabar terhadap cobaan bahkan kenikmatan yang diterimanya. Termaktub dalam firman-nya, “meminta tolonglah kalian dengan Sabar dan sholat”. Walhasil, sabar menjadi sebuah keharusan terutama dalam bidang kemasyarakatan. Sebagai contoh: ketika seseorang dihina, yang seharusnya dilakukan bukanlah menghina balik. Atau dalam hal apapun bukanlah membalas sebuah keburukan dengan keburukan lain. Tugas manusia, hanyalah bersabar dan menerima. Allah sebetul-betulnya zat yang memiliki hak untuk membalas semua hal yang berkaitan dengan permasalahan duniawi. Karena Allah memang pencipta dan manusia hanyalah hamba yang wajib bertawakal serta terus menyebut “Hasbunallah wani'mal wakil”

KH Abdurrahman Wahid, dalam dawuhnya pernah menyentil sejumlah orang yang terus menerus menyebut jika sabar ada batasnya. KH Abdurrahman Wahid meluruskan sikap dengan menegaskan, “Jika sabar ada batasnya, berarti bukan sabar namanya, sabar tidak memiliki batas apapun”. Begitulah seharusnya manusia bersikap. Jika seluruh orang menahan diri, tentu kemarahan, arogansi dan berimbas kepada kekerasan tidak akan pernah terjadi kan?

Jangan Benci dengan Perbedaan

September 17, 2018 Add Comment

Kekurangan manusia dalam memandang manusia adalah tidak bisa menerima sebuah perbedaan yang ada di dalam dirinya dan lingkungannya. Jika dirinya merupakan abjad A, maka dia tidak bisa menerima abjad B, padahal abjad itu sampai Z. Sebagian manusia sulit menerima hal ini, walhasil tujuan utama sebagai Khalifah (pemimpin) untuk diri sendiri terutama, hilang di makan kekakuan menerima perbedaan. Celakanya, ketika tidak bisa menerima perbedaan, diiringi dengan sikap meremehkan dan menganggap apa yang dia pegang merupakan suatu kebenaran mutlak.

Suatu sikap yang bakal merusak tatanan hidup manusia yang sejak dulu memang hidup secara berkelompok. Padahal, Allah sangat menerima perbedaan, bahkan jalan menuju Dia, “Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan”. (Q.S. Yusuf/12:67).

Dalam urusan agama saja, Allah menekankan bahwa Dia memiliki kekuasaan untuk menyeragamkan semua hal termasuk agama. Tapi, Allah tidak ingin, Allah enggan dunia ini hanya diisi satu abjad: A. Dia ingin manusia memiliki jalannya masing masing dan mencari sebuah kebenaran : jalan Ilahiyah. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99)”.

Allah hanya memberikan satu Suluh bagi manusia: Rasa Sayang. Hal ini yang mampu membuat manusia terus mempertahankan tatanan hidup di manapun berada. Tidak perlu manusia menghakimi manusia yang lain yang tidak memiliki kesamaan pandangan terhadapnya. Urusan salah benar hanya urusan Allah. “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Qashash/28:56)”.

Petunjuk di sini, bukan hanya dalam masalah hidayah yang diberikan Allah ketika seseorang beriman. Tapi, ancaman bahwa manusia tidak memiliki hak untuk mengadili sesama manusia. Allah memiliki jalan sendiri yang ghaib, yang tidak bisa dicerna dengan nalar.

Benar, Allah menurunkan hukumnya untuk manusia, tetapi Allah tentu lebih paham hukum hukum tersebut dijadikan patokan saja, dan manusia disuruh untuk berinovasi, berimprovisasi sesuai kebutuhan. Bid'ah dalam artian ini, karena Allah pun maha berinovasi. Manusia memiliki sifat ketuhanan, tentunya. Dan salah satunya ialah berinovasi itu, dan mencari jalan terbaik di antaranya.

Kyai Sahal, seperti diceritakan oleh KH Abdurrahman Wahid, tetap berpegang teguh terhadap penghormatan terkait mereka yang menjadi korban terorisme dekade 2000-an. Padahal, mereka yang menjadi korban, sebagian besar adalah umat kristiani. Dan sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdhatul Ulama memiliki sikap mengutuk pembunuhan tersebut. Hanya saja, dalam maklumatnya, NU menolak kata “orang-orang yang tidak berdosa”.  tapi mengubahnya menjadi “orang-orang yang tidak bersalah”. Kyai Sahal tentu paham, dosa dan pahala, benar dan salah, hanyalah keputusan Allah dan manusia -sekali lagi- tidak memiliki ilmu untuk mencapainya.

Saling menghormati dan menyayangi menjadi tuntutan utama dalam nilai hidup manusia. Nabi Muhammad, sang penyayang, pernah mengatakan “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Tirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925). Jika sudah seperti ini, apakah anda masih ingin menghakimi pandangan orang yang berbeda dengan anda?

Menuju Hati dan Jiwa yang Tenang

September 17, 2018 Add Comment

Dengan apa anda bisa mencapai Tuhan? Hati.

Sebagain mungkin sepakat, sebagian mungkin tidak. Pasalnya, ibadah hanyalah serangkaian media untuk mencapai ketenangan hati. Sholat, zikir, sedekah, dan berbuat baik disinyalir -jika kita ikhlas- akan membuat hati tentram. Titik inilah yang akan membuka hijab antara manusia dengan Tuhannya.

Hati adalah rasa. Rasa yang ghaib, yang Supra rasional. Hati mampu mencapai hal hal yang tidak bisa dicapai akal; dengan rasa. Merasakan hadirnya tuhan. Menerima dengan lapang tanpa berpikir untung rugi, tanpa apa mengapa dan bagaimana. Hati membuat manusia menyerah bukan karena kalah, tapi mengerti hal yang hanya bisa diambil dengan rasa.

Tuhan datang melalui hati. Zat yang maha suci, yang maha lembut. Dia yang bergerak beriringan dengan geraknya hati. Membuka penghalang yang menetap dihati orang orang yang marah dan dengki. Dan itu tidak mudah mendapatkan “Nafsu Muthmainnah”. Media dibutuhkan di sini. Ibadah dan lebih spesifiknya ialah Riyadhah atau biasa disebut tirakat.

Mereka berusaha untuk menyucikan hati karena hal tersebut ada di dalam Al-Qur'an: “Dan beruntunglah mereka yang bersuci/membersihkan diri (Al A'ala ayat 14) dan dilanjutkan, dengan “mengingat Tuhannya -kebesarannya, keagungannya, dan dia pun beribadah (solat)”.

Siapa yang menolak hal ini tidak bakal tercapai? Ulama terdahulu sudah melakukannya dan mereka mendapatkan karamah/kelebihan yang tidak didapatkan manusia-manusia biasa. Mereka lembut dan mengetahui kelembutan sisi hati manusia. Mereka paripurna dan dibuat Tuhan menjadi seperti ini. Manusia datang kepada mereka, dan ulama tersebut sudah mengetahui maksud dari kedatangan manusia manusia itu, karena kelembutan dan sensitivitas yang tinggi di hati mereka.

Tuhan tidak membutakan hati mereka, “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS.al-Hajj:46). Keinginan mereka begitu kuat untuk mencapai makam Ilahiyah. Bukan karena Gandrung akan kesalehan, justru mereka terus merasa sebagai makhluk yang kurang dan butuh bantuan. Mereka merendah dan sadar akan serendah rendahnya manusia.

Hati mereka telah dicuci, jiwa mereka tenang, karena lepasnya dari kefanaan dunia. “Hai jiwa yang tenang Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang dan diridhai, Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, Maka masuklah ke dalam surga-Ku.” (al fajr: 27-30)

Ingin Dapat Hikmah? Cintai Tiga Hal Ini

September 15, 2018 Add Comment

Sesungguhnya Allah mencintai tiga hal dan membenci tiga hal. Perkara yang dicintai adalah sedikit makan, sedikit tidur dan sedikit bicara. Sedangkan perkara yang dibenci adalah banyak bicara, banyak makan dan banyak tidur.

[HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5: 48]

3 perkara ini memang sulit dilakukan bagi siapapun. Sedikit tidur -yang jelas bukan begadang- tapi beribadah kepada Allah SWT, bisa membuat kepala kita melayang ibarat kapas. Sedikit makan, jelas sudah kita pernah merasakan ketika berpuasa. Badan gemetar, malas jalan, dan terutama ingin pingsan ketika mencium wewangian rempah-rempah yang di masak. Terakhir banyak bicara, dan ini perkara paling sulit. Siapa yang mampu memilih diam ketika ada hal yang paling kita sukai untuk bicara. Misal, permasalahan orang yang sedang terkena kesulitan. Atau orang yang kita benci yang kebetulan dibenci orang lain.

Tapi, jika kita niat. Hal itu hanya kita rasakan beberapa saat saja. Semua akan kembali biasa dan kita akan terbiasa. Kita tidak akan merasa kantuk berlebihan, lemas karena puasa, atau sulit itu tidak bicara. Ya, tidak ada yang tidak bisa jika dibiasakan. Emha Ainun Nadjib pernah bilang, dia hanya tidur 1 jam sehari. Atau KH Abdurrahman Wahid yang memiliki jam tidur dari jam 1 pagi hingga jam 4 pagi. Atau Kyai sepuh di Jawa yang terbiasa berpuasa selama bertahun-tahun.

Mereka adalah orang-orang yang tidak sembarang melakukan sesuatu jika tidak memiliki faidah. Hal utama ialah, mengikat hawa nafsu/marah yang berlebihan. Siapa yang menyangkal jika kekuatan atau energi marah kita berasal dari tiga hal tersebut? Bukankan energi kita yang terkuras untuk mengurangi 3 perkara itu bisa kita alihkan ke hal yang sifatnya ilahiyah?

Buku Saku Filsafat Islam

September 04, 2018 Add Comment


Haidar Bagir menjelaskan dalam buku ini tentap pemikiran filsafat islam dengan cara yang mudah dipahami dan tidak rumit. Meski banyak yang menganggap filsafat islam itu rumit tapi ramuan dari Haidar membuat filsafat itu bisa dinikmati oleh berbagai pihak



PDF


Al-Hikam: Hikmah 1

September 03, 2018 Add Comment



مِنْ عَلَامَات الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانِ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الْزَّلَلِ

"Sebagian tanda dari bergantung kepada amal, adalah kurangnya harapan ar-raja (kepada Allah) ketika terjadi kesalahan / dosa"

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan atau dosa. Namun, tidak semua orang mampu untuk sadar jika yang diutamakan ialah berharap sebuah rahmat dari Allah. Karena sebagian besar orang adalah memilih untuk mengaku sudah bertobat kepada Allah. Bukan rahmat Allah yang mereka kedepankan, tetapi perbuatan dari ibadah mereka terkait kesudahan melakukan taubat.

Mereka yakin dengan amal mereka, Allah dapat mengampuni kesalahan mereka. Hanya saja, hal tersebut bukanlah hal yang baik. Seharusnya, kita sebagai manusia yang pernah berbuat dosa, sadar akan rahmat Allah lebih besar daripada ampunan kita. Allah tentu mengampuni kita bukan karena amal ibadah yang sudah kita lakukan. Allah mengampuni karena Allah ingin mengampuni dan hambanya yang ikhlas dan tahu bahwa ibadahnya bukanlah apa-apa untuknya dan bagi Allah. Ibadah hanyalah sebuah kendaraan untuk menuju Allah, dan siapapun tidak boleh membanggakan hal tersebut. Membanggakan taubat dan ibadah yang pernah kita lakukan. Tidaklah kita mampu menghapus dosa kita selama ini dengan ibadah yang pernah kita lakukan. Kita harus raja/berharap dengan rahmat yang Allah berikan. Tentu kita bukan atau tidak ingin berbisnis dengan Allah kan. Kita tidak akan mampu melakukan jual (ibadah) dan membeli (ampunan) kepada Allah.