Jangan Benci dengan Perbedaan

September 17, 2018

Kekurangan manusia dalam memandang manusia adalah tidak bisa menerima sebuah perbedaan yang ada di dalam dirinya dan lingkungannya. Jika dirinya merupakan abjad A, maka dia tidak bisa menerima abjad B, padahal abjad itu sampai Z. Sebagian manusia sulit menerima hal ini, walhasil tujuan utama sebagai Khalifah (pemimpin) untuk diri sendiri terutama, hilang di makan kekakuan menerima perbedaan. Celakanya, ketika tidak bisa menerima perbedaan, diiringi dengan sikap meremehkan dan menganggap apa yang dia pegang merupakan suatu kebenaran mutlak.

Suatu sikap yang bakal merusak tatanan hidup manusia yang sejak dulu memang hidup secara berkelompok. Padahal, Allah sangat menerima perbedaan, bahkan jalan menuju Dia, “Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan”. (Q.S. Yusuf/12:67).

Dalam urusan agama saja, Allah menekankan bahwa Dia memiliki kekuasaan untuk menyeragamkan semua hal termasuk agama. Tapi, Allah tidak ingin, Allah enggan dunia ini hanya diisi satu abjad: A. Dia ingin manusia memiliki jalannya masing masing dan mencari sebuah kebenaran : jalan Ilahiyah. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kalian (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99)”.

Allah hanya memberikan satu Suluh bagi manusia: Rasa Sayang. Hal ini yang mampu membuat manusia terus mempertahankan tatanan hidup di manapun berada. Tidak perlu manusia menghakimi manusia yang lain yang tidak memiliki kesamaan pandangan terhadapnya. Urusan salah benar hanya urusan Allah. “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S. al-Qashash/28:56)”.

Petunjuk di sini, bukan hanya dalam masalah hidayah yang diberikan Allah ketika seseorang beriman. Tapi, ancaman bahwa manusia tidak memiliki hak untuk mengadili sesama manusia. Allah memiliki jalan sendiri yang ghaib, yang tidak bisa dicerna dengan nalar.

Benar, Allah menurunkan hukumnya untuk manusia, tetapi Allah tentu lebih paham hukum hukum tersebut dijadikan patokan saja, dan manusia disuruh untuk berinovasi, berimprovisasi sesuai kebutuhan. Bid'ah dalam artian ini, karena Allah pun maha berinovasi. Manusia memiliki sifat ketuhanan, tentunya. Dan salah satunya ialah berinovasi itu, dan mencari jalan terbaik di antaranya.

Kyai Sahal, seperti diceritakan oleh KH Abdurrahman Wahid, tetap berpegang teguh terhadap penghormatan terkait mereka yang menjadi korban terorisme dekade 2000-an. Padahal, mereka yang menjadi korban, sebagian besar adalah umat kristiani. Dan sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdhatul Ulama memiliki sikap mengutuk pembunuhan tersebut. Hanya saja, dalam maklumatnya, NU menolak kata “orang-orang yang tidak berdosa”.  tapi mengubahnya menjadi “orang-orang yang tidak bersalah”. Kyai Sahal tentu paham, dosa dan pahala, benar dan salah, hanyalah keputusan Allah dan manusia -sekali lagi- tidak memiliki ilmu untuk mencapainya.

Saling menghormati dan menyayangi menjadi tuntutan utama dalam nilai hidup manusia. Nabi Muhammad, sang penyayang, pernah mengatakan “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Tirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925). Jika sudah seperti ini, apakah anda masih ingin menghakimi pandangan orang yang berbeda dengan anda?

Previous
Next Post »
0 Komentar